Archives

Ketika seligkuh menjadi Kehormatan

Ketika Selingkuh Menjadi Kehormatan

Di tengah hamparan sawah nan indah dan luas. Di antara tatapan padi yang mulai menguning. Luapan kebahagian dua anak sedang menjadi lampu penerang. Menerangi seluruh aktivitas makhluk yang lewat di sana. Kenangan itu tertulis dalam buku sejarah kehidupan dua hati insan. Mereka tak mampu menghapusnya. Kenangan itu seakan menjadi bagian dari anggota badannya.

Pagi itu, Husen melamun di atas sofanya. Dia masih teringat masa kanak-kanaknya. Seorang perempuan cantik dan polos. Perempuan itu jauh dari matanya. Perempuan itu menjadi sumber inspirasinya. Namun kini Husen sudah menempuh jalan yang lain.

Sementara Humairah belum juga mendapatkan pasangannya. Dia sudah berumur hampir tiga puluh. Tapi dia masih cantik. Kulit wajahnya belum ada yang berkerut. Belum ada tanda-tanda ketuaan. Dia masih seperti gadis sembilan belasan tahun. Husen mengingat masa lalunya. Masa kanak-kanaknya dulu di kampung bersama Humaerah. Bermain bersama anak-anak yang lain.

Sudah hampir sepuluh tahun Husen menjalani hidup bersama istrinya, Fatimah. Namun mereka belum juga dikaruniai keturunan. Sesuai kesepakan dengan istrinya. Husen boleh menikah lagi jika genap sepuluh tahun belum juga ada hasil.

Fatimah adalah sosok perempuan yang sholehah. Dia rela dimadu. Dia tahan uji. Tahan mental. Rela menanggung penderitaan jika itu adalah kebahagiaan keluarganya. Termasuk suaminya. Meskipun harus berbagi.

Cekcok dalam keluarga Husen hampir tak ada yang berarti. Keluarganya boleh dibilang kelurga sakinah. Mereka adalah orang yang taat beribadah. Taat pada agama. Tiap minggunya mereka rutin mengikuti pengajian. Mereka paham betul agama dan sekaligus mengaplikasikannya.

Humaerah belum juga diketahui Husen. Dia entah di mana. Husen tidak tau karena sudah lama dia meniggalkan kampung halamannya. Dia merantau Humaerah merantau kemana. Juga tak ada kabar yang sampai padanya.
* * *
Sepuluh tahun sudah. Usia pernikahan Husen dengan Fatimah belum juga ada tanda-tanda. Perut belum juga buncit. Masih tetap kempes. Masih seperti dulu.

Dalam kamarnya, Fatimah terseduh-seduh. Meneteskan air matanya. Dia amat sedih. Dia memikirkan kesepakatannya dulu. Huesn boleh menikah setelah usia pernikahan genap sepuluh.

“Kenapa kamu menangis? Emang ada masalah apa. Kok sedih begitu?,” Husen menyapanya dengan lembut. Lalu Husen mencium dahi itrinya.

“Kang… ingatkah kesepakatan kita dulu? Waktu pernikahan kita berumur dua tahun,” sambil memandang suaminya.

“Tidak. Emang perjanjian apa?.”
“Akang boleh menikah lagi……”.

Fatimah memang perempuan sholehah. Jilbabnya yang agak besar menjadi hiasan wajahnya yang cantik. Andai istri lain yang kurang bagus agamanya, maka dia tidak akan terus-terang pada suaminya. Tentang kesepakatan itu dulu. Tapi fatimah takut berbohong. Apalagi pada suaminya. Dia perempuan yang taat pada suami.

“Sayang…” sambil merangkul istrinya. “Walau nanti ada takdir untuk memadu. Aku akan berusaha untuk adil. Tetap menyayangimu seperti dulu.”
“Mudah-mudahan kang…”

Beberapa bulan Husen sering melamun. Dia sedih karena belum juga benih yang tumbuh dalam perut istrinya. Dia sering berfikir untuk mencari istri yang mampu memberinya anak. Namun dia juga masih sulit menghianati istrinya. Dia takutFatimah sakit hati.

“Dalam Islam kang dibolehkan poligami selama itu bukan atas dasar hawa nafsu dan kepuasan. Kalau niatnya baik tidak apa-apa. Apalagi kemandulan bisa dijadikan alasan untuk cerai. Tapi saya tidak ingin ceraikan istriku. Aku Cuma mau menambahnya. Bukan menceraikan.” Beitulah gejolak dalam hati Husen memikirkan rumah tangganya.

“mudah-mudahan istriku tidak kecewa. Atau sakit hati. Semoga….”

* * *
Malam itu, Husen pamit pada istrinya untuk keluar jalan-jalan. Sekedar menghirup udara segar. Dia merasa nyaman malam itu. Seakan ada firasat baik untuknya. Dia singgah di sebuah tempat perbelanjaan.

Terbayang di pelupuk matanya. Orang itu lewat di hadapannya. Tanpa sengaja Husen memandang kearah perempuan bejilbab itu. Dia langsung teringat masa lalunya. Masa kanak-kanaknya. Dia teringat wajah orang pernah mengisi ruang hidupnya sewaktu tak tau apa-apa.

Husen mengikutinya. Seakan Rama mengejar Shinta. Perempuan itu makin jelas di ingatan Husen. Dia makin yakin kalau itu perempuan yang lama dia cari, Humaerah. Gadis sholehah teman sepermainannya.

Husen langsung menyapanya. Perempuan itu langsung kaget. Tapi dia juga seakan teringat wajah lelaki itu. Tapi siapa ya? Begitu dalam hatinya.

Mereka bercengkrama. Akhirnya mereka saling kenal. Bernostalgia bersama. Husen mengajaknya makan malam di restoran yang ada dalam Mall itu.

“Dari mana saja kamu…?” Husen memulai pembicaraan.
“Saya baru pulang dari Madinah.”
“Oiya..? untuk apa kamu di sana?”.

“Memperdalam pengetahuan agama. Saya sekarang berniat kembali membangun kampung halaman sendiri. Kebetulan aku diutus sekolahku dulu.”

Husen mengungkapkan kebahagiaanya. Karena bisa bertemu setelah puluhan tahun berpisah. Humaerah pun juga sama. Dia juga merasa teringat masa kecilnya. Waktu Husen tinggal bersama neneknya di kampung. Tapi setelah besar. Husen meninggalkan kampung dan tak pernah lagi mengunjungi neneknya. Itu karena kesibukannya mengurusi perusahaannya di kota. Sehingga tak pernah juga ada waktu mencari keberadaan Humaerah. Dia sudah lupa beberapa tahun terakhir. Namun tiba-tiba saja teringat padanya.

Humaerah terlihat kurus. Sepertinya ada sesuatu yang terpendam dalam hatinya. Entah ada perasaan lain dari yang lain. Ada getaran. Ada signal dalam hati mereka. Dua insan yang baru bertemu.

Cinta memang bukanlah buatan. Dia timbul dan tumbuh dengan sendirinya. Dia hanya mampu dirasakan tanpa dapat dipahami. Seperti apa itu cinta.

Beberapa hari kemudian. Humaerah terjatuh sakit. Husen mendengar kabar itu. Humaerah yang tinggal di rumah kotrakannya masih sangat sulit untuk membiayai rumah sakit. Sakitnya tambah parah. dia harus dibawa ke rumah sakit. Tapi biaya dari mana? Seru hati teman kotrakannya.
Husen menyempatkan menjenguk Humaerah. Dia prihatin melihat keadaannya. Lalu dia membawanya ke rumah sakit. Menanggung biayanya. Walau Humaerah sangat berat menerima itu. Tapi itu keadaan terpaksa.

Setelah setengah bulan Humaerah mengalami perawatan. Dia mulai membaik. Kesehatnnya mulai pulih. Dia sering dijenguk Husen. Tiap pulang kantor. Husen singgah di situ.

Seusai pulang dari rmah sakit. Husen menjelaskan kepada istrinya bahwa dia berniat menikah lagi. Seorang perempuan yang dikenalnya sejak dulu, masih di kampung. Husen memilih kata-kata yang dianggapnya paling tepat. Dia takut istrinya sakit hati kalau salah kata.

Dengan penuh kepasrahan, istrinya merelakan itu. Antara sakit dan bahagia. Fatimah sakit karena harus melawan naluri kepermpuanannya. Bahagia karena dapat membahagiakan suaminya.(***)
Ditulis di Gowa, 17 Januari 2009
READ MORE - Ketika seligkuh menjadi Kehormatan

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Tukang Becak Harus Sarjana

Tukang Becak Harus Sarjana


Sedih bercampur bahagia. Tertawa dan terkadang menangis. Pikiran selalu kacau hanya sesekali dalam kondisi stabil. Antara bahagia dan sensara. Tiap saat, tiap detik hanya ada dalam keragu-raguan. Di atas becak tuanya, Daeng Gassing merenung meratapi nasibnya. Tanpa sadar, tiba-tiba Daeng Gassing mengusap-usap kepalanya lalu membuka diskusi dengan teman-temannya. Pagi itu, di tempat mangkalnya. Di atas becaknya masing-masing terjadi perdebatan hangat diantara mereka. Para tukang becak itu ternyata juga sangat respon terhadap pesta demokrasi yang akan diadakan di Kota itu.

Bagaimana pendapatmu tentang pemilihan walikotayya?”, Tanya Daeng Gassing membuka pembicaan.

Maksudnya Daeng Gassing!?”, Daeng Tompo kembali bertanya dengan nada kurang mengerti.

Maksudku siapa calon ta’ yang kita dukung”.

Tapi katte duluan. Inai katte?

Pembicaraan mereka berlanjut dan saling menyebut nama calon mereka masing-masing. Mereka lalu saling menjatuhkan. Saling mencemooh.

Apaji itu calonmu… apa tonji programnya..!! paling dia hanya cari uang dan mengejar kedudukan. Ero’naji nikana”. Daeng Tompo mulai merendahkan calonnya Daeng Gassing.

Janganki’ bilang begitu dulu… nanti tompi dilihat. Lagian dia tidak ada cacat di masyarakat. Tidak pernah korupsi”. Daeng Gassing membela.

Temannya yang lain mulai membuka mulut. Dia pun bertanya. “Janganki’ bilang begitu tawwa. Calonta iyya, apa programna yang dia andalkan?”.

Menurunkan harga makanan pokok dan barang-barang daganganka. Membasmi koruptor. Dan gratismi pendidikan juga kesehatanka

Iyyo… tapi janganki’ mau diperdaya janji-janji politikus. Lebih banyak bohongnya. Tidak bisa dipercaya”.

Untungji kalau na ingatji kalau terpilihmi. Biasanya alasannaji jai. Tidak ada bukti”. Sahut temannya yang lain.

Sekarang buttia parallu”.

Tempat mangkal mereka bertambah seru dengan diskusi tentang calon walikota dan wakil walikota kebanggaan dan pilihan mereka masing-masing. Mereka sudah tidak sadar penumpang telah banyak lewat. Ditawari oleh penumpang pun mereka tidak sadar. Mereka seakang-akang sudah tidak butuh duit. Padahal masih pagi. Mereka hanya sibuk bertengkar mulut. Saling mengunggulkan calon kebanggaannya. Saling menjatuhkan satu sama lain. Mereka seakan terlihat seperti mahasiswa berdebat masalah ideology. Laksana ulama berdiskusi persoalan khilafiyah. Bagai pejabat sedang sidang membahas rancangan undang-undang. Mereka tidak mau kalah. Mereka mau hanya dia yang terbaik dan paling benar. Hanya calonnyalah yang mampu melakukan perubahan. Mensejahterahkan. Membuat hidup lebih baik.

Suasana tambah panas. Adu mulut makin seru. Mata memerah. Mulut makin komat kamit. Tanpa sadar, Daeng Tompo memegang kayu kecil lalu melempar Daeng Gassing. Seketika itu juga sadar. Mereka baru sadar mereka terlalu jauh mengurusi yang seharusnya bukan urusannya.


Gowa, 13 Oktober 2008


READ MORE - Tukang Becak Harus Sarjana

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Ketika Cinta Berpolitik

Ketika Cinta Berpolitik


Di tengah riukan mahasiswa menentang kebijakan pemerintah. Di tengah-tengah kebisingan kendaraan yang lalu-lalang. Di antara gempalan asap ban. Debu menari-nari kesana-kemari. Debu itu seakan ikut merasakan kebahagiaan dua insan yang sedang memadu kasih. Walau bagi pengguna jalan, debu dan asap itu sangat mengganggu. Namun dua hati itu seakan tidak merasakan kehadairan debu-debu itu.

Di bawah pohon nan rindang. Adim tengan berada dalam hayalan di tengan lautan luas nan indah. Siang itu, Adim merasakan kebahagiaan yang sudah lama ia nantikan. Kini terjawab sudah. Cinta yang telah enam bulan tertunda. Saat ini, Adim tengan berada di sisi orang yang sangat ia sayangi, Nur. Debu tak menjadi penghalang. Riukan demonstran tak berarti baginya. Yang ada dalam hatinya hanyalah kehangatan dan ketenangan jiwa. Bagi Adim, keberadaan Nur di sisinya adalah ketenangan yang tiada tara.

Adim adalah orang yang aktif menyuarakan aspirasi masyarakat dan mahasiswa. Ia seorang demonstran ulung. Namun siang itu, ia bertekad meninggalkan itu demi Nur. Ia ingin bertemu dengannya untuk mendenganr jawaban yang sudah lama ditunggu.

Walau selama ini Nur tidak suka orang yang selalu teriak di jalan. Salah satu faktor samapai Adim harus menunggu jawaban satu semester. Enam bulan. Juga karena itu. Karena Adim adalah seorang parlemen jalanan. Namun entah malaikat apa yang sedang merasuki jiwa Nur. Sehingga Nur berbaik hati menerimanya.

Nur dengan jilbabnya yang panjang sampai ke dada. Melirik sedikit ragu kepada Adim. Wajahnya Yang Putih Bersih. Kini memerah oleh sengatan mentari. Adim terlihat senyum pertanda bahagia dan terima kasihnya. Dengan bibir Nur yang merah alami tanpa lipstik itu. Suaranya yang khas penuh kelembutan lalu beucap.

Kenapa kamu tidak ikut aksi sekarang? Baru kali ini saya melihat aksi kali ini tidak dihadiri seorang orator jalanan”, tanya Nur dengan nada menyinggung.

Adim pun merasa bahwa yang disinggung adalah dirinya. “Kali ini saya tidak ikut karena kamu”, jawabnya.

Karena aku??”.

Iya… karena kamu. Kenapa?”.

Kamu kurang komitmen. Kok gara-gara seorang perempuan kamu rela meninggalkan sesuatu yang lebih urgen. Kepentingan pribadimu lebih kau dahulukan dibanding kepentingan umum. Kepentingan masyarakat”.

Iya, saya ngerti. Tapi aksi itu bukan aksi itu, buka aksi yang menyuarakan aspirasi masyarakat. Tapi itu aksi solidaritas. Mereka menuntut kasus pelecehan seksual oleh oknum TNI. Saya rasa tanpa aksipun pemerintah akan menindak tegas oknum tersebut”.

Tapi bukankah itu hal yang penting. Karena itu masalah moral. Mahasiswa kan dikenal sebagai moral force”.

Setelah lama berdebat. Lalu mereka pun berpisah. Namun perdebatan itu berakhir dengan senyum kebahagiaan. Perdebatan yang diwarnai dengan suasana cinta penuh kasih.

Nur memang senang berdebat. Ia sering menjadi ketua di banyak organisasi. Dia juga punya massa pendukung sekiranya ada hasrat ikut berkomptisis dalam pesta demokrasi mahasiswa nanti.

* * *

Enam bulan berlalu sudah. Kini hubungan Adim dan Nur makin akrab. Mereka saling mencintai tidak seperti orang kebanyakan. Mereka tidak suka ke pantai berdua. Kalau mereka bertemu, yang menjadi pokok pembicaraan buka masalah perasaan. Apa lagi kata-kata mesra. Rayuan gombal yang mengundang gejolak nafsu. Mereka hanya memanfaatkan diskusi dengan masalah kehidupan, keilmuan dan masalah intelektualitas. Walau sesekali juga berbicara masa depan mereka kelak.

Bulan ini, pesta demokrasi akan segera digelar. Pemilma di kampus mereka telah dekat. Adim diusung teman-temannya. Ia dicalonkan menjadi kandidat presiden mahassiswa. BEM-U.

Adim mengingat, Nur punya massa pendukung. Namun Nur dan Adim memiliki latar belakang organisasi berbeda. Organisasi mereka selalu bersebrangan. Tak pernah bersatu. Organisasi ekstra mereka tak pernah ingin bekerja sama. Mereka berbeda ideologi. Nur yang menjadi ketua di organisasinya tak mampu berbuat banyak. Teman-teman Nur harus mengusung kandidat juga. Mereka tidak mau kalah dengan kelompok Adim. Walau teman Nur tau kalau Adim kekasih Nur.

Dua pembesar dari organisasi itu terikat dengan tali cinta yang telah lama mengikat. Adim berusaha untuk merebut massa dari Nur dengan senjata cintanya. Lalu Adim pun menemui nur di kostnya. Ia minta Nur agar dibantu untuk pemenangannya. Lewat organisasi yang Nur geluti. Walau Adim tau kalau Nur tak bisa terang-terangan. Karena bisa memicu konflik besar yang berujung pada ancaman nyawa.

Nur berkata akan berusaha semaksimal mungkin. Ia meyakinkan akan kemenangan berada di pihat Adim. Namun Nur berpesan.

Saya tidak ingin hubungan ini hancur berantakan karena perbedaan organisasi. Ideologi organisasi sedikit berbeda. Pada hakekatnya tujuan kita sama. Menuju kejayaan ummat”.

Pemilma pun digelar. Dengan kecerdikan dan kecerdasan Nur, ia mampu merebut suara sekitar tiga puluh persen dari organisasi yang menjadi rival Adim. Ia berhasil menyulap teman-temannya menjadi senang pada Adim. Nur mampu menyumbang suara sekitar lima puluh persen dari banyak organisasinya. Akhirnya adim memenangkan pertarungan itu.

Adim berhasil mengalahkan rivalnya. Mampu merebut kursi kepresidenan. Dengan kekuatan cinta dan strategi yang mengakar mampu menumbang pohon yang berdiri tegak dan kokoh.

Usai Pemilma, Adim menemui Nur di kostnya. Ia membawa kado sebagai tanda terima kasihnya.

Satu tahun kemudian, mereka melanjutkan hubungannya sampai pada tahap pernikahan. Walau mereka masih kuliah dan masih menjabat sebagai ketua BEM-U. mereka hidup tentram dalam rumah yang sejuk dan sederhana. Dihiasi suasana cinta yang tulus dan murni. Penuh damai dan bahagia.(***)

READ MORE - Ketika Cinta Berpolitik

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati